Bismillah...
Ada golongan muslimin yang mencari-cari keringanan dari para ulama
atau mencari ajaran Islam yang paling mudah dan paling ringan serta
cocok dengan keinginan hawa nafsunya dan tujuan pribadinya tanpa
didasarkan pada keterangan yang benar menurut syari’at Islam. Mereka
sering berdalil bahwa suatu masalah dalam agama (yang mereka hadapi
itu) masih belum disepakati para ulama, oleh karenanya mereka tidak
dapat disalahkan secara mutlak.
Ada beberapa orang yang pura-pura mengikuti pendapat para ulama,
tetapi dia kemudian berpindah-pindah dari satu madzhab ke madzhab lain
atau dari satu pendapat ke pendapat lain untuk memenuhi keinginan hawa
nafsunya. Meskipun dia menutup-nutup dirinya dengan pengamalan syariat
dan mengikuti para ulama, tetapi sebetulnya mereka hanya mengikuti hawa
nafsunya sendiri.
Orang-orang yang hanya mengikuti hawa nafsunya ini telah disindir dan dicela oleh Allah swt. dalam beberapa firman-Nya :
Dalam QS Shad : 26 : “..dan janganlah kamu mengikuti hawa (nafsu), karena ia akan menyesatkanmu dari jalan Allah “.
Dalam QS An-Nisa : 135 : “…maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu
karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan
(kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah
Maha Mengetahui segala ap yang kamu kerjakan”
Dalam QS Al-Jatsiyah : 18 : “Kemudian Kami jadikan kamu diatas suatu
syari’at (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syari’at
itu dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang dzalim”.
Dalam QS Al-Furqan : 43-44 : “Terangkanlah kepadaku tentang orang
yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Apakah kamu dapat
menjadi pemelihara atasnya?. Atau, apakah kamu mengira bahwa kebanyakan
mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah
seperti binatang ternah, bahkan mereka lebih sesat jalannya (daripada
binatang ternak itu)”.
Dalam QS Al-Maidah : 70 : “Setiap datang seorang Rasul kepada mereka
dengan membawa apa yang tidak di-ingini oleh hawa nafsunya, maka
sebagian dari para Rasul itu mereka dustakan dan sebagiannya lagi
mereka bunuh “.
Didalam Al-qur’an Allah swt. mencela seseorang yang ‘alim (pandai)
diantara kaumnya (tetapi suka mengikuti hawa nafsunya). Dia berfirman
dalam QS Al-A’raf : 176 :
“Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya (pasti) Kami tinggikan
(derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia
dan mengikuti hawa nafsunya yang rendah..”.
Dan masih banyak lagi firman Allah swt. mencela orang yang sering
mengikuti hawa nafsunya untuk melakukan kepentingan pribadinya sendiri.
Dari beberapa ayat Al-Qur’an diatas kita mengetahui secara pasti
bahwa tidak mengikuti kehendak hawa nafsu termasuk inti dan pokok
ajaran agama Islam. Sedangkan mencari-cari keringanan suatu masalah
agama tidak lain adalah mengikuti keinginan hawa nafsunya terhadap
suatu masalah tersebut.
Para ulama pakar telah sepakat bahwa memberikan fatwa secara
sembarangan (seenaknya sendiri) apalagi jika hal itu menyimpang dari
ajaran yang benar adalah perbuatan haram. Atas dasar itulah, setiap
mujtahid (orang yang benar-benar mencari kesimpulan hukum) wajib
mengikuti dalil, sedangkan orang yang akan bertaklid (mengikuti)
pendapat ulama wajib mengikuti pendapat yang shohih dan kuat dalam
madzhab imam (mujtahid) nya.
Allah swt. mewahyukan kepada Rasul-Nya: Sesungguhnya Allah menyuruh
mu untuk melakukan ini atau melarang melakukan ini. Sama sekali tidak
disebutkan terdapat dua atau tiga pendapat dalam suatu masalah, atau
mengambil yang paling mudah dan ringan saja.
Rasulallah saw. pernah bertamu pada seseorang. Lalu seseorang ini
berkata kepada Rasulallah saw. : Apakah aku harus menyediakan cuka
(makanan asam) atau daging ? Dalam keadaan seperti itulah (urusan
duniawi) Rasulallah saw. akan memilih dan mengatakan ; Berikanlah
kepadaku yang paling mudah bagimu.
Dengan demikian, jelaslah bahwa mengikuti pendapat yang membolehkan
untuk memilih-milih pendapat yang paling ringan dan mudah berdasarkan
hadits Siti ‘Aisyah itu tidak menggunakan dalil yang tepat. Atau,
mungkin dia berkeinginan untuk memasukkan kerancuan dan keraguan kepada
hati orang-orang awam (biasa), bahwa apa yang dibawa dan dilakukannya
itu boleh menjadi dalil bagi apa saya yang dia kehendaki.
Kita muslimin tidak akan mengingkari samahat (keluwesan, kemudahan
dan kelapangan) dalam syari’at Islam. Yang dimaksud samahat dalam
syari’at Islam ini ialah keringanan yang diberikan oleh Allah swt.,
umpamanya:
a) Orang yang sakit diperbolehkan melakukan sholat dengan duduk, sambil
berbaring, atau dengan cara lain sesuai dengan kemampuannya.
b). Orang yang akan bersuci baik untuk menghilangkan hadats atau
menghilangkan najis tetapi dia tidak mendapatkan air atau takut
berbahaya jika menggunakan air, maka dia diberi keringanan untuk
menggunakan tanah (tayammum) sebagai ganti air. Dengan demikian, hal
itu tidak berarti bahwa seorang Muslim dengan dalih adanya kemudahan,
keluwesan dan keringanan dalam Islam ini, lantas boleh mencari-cari
yang paling mudah atau paling ringan menurut pikirannya dari sekian
banyak pendapat ulama, bahkan pendapat yang paling lemah sekalipun.
Ada sebagian orang yang membolehkan seseorang mencari-cari
keringanan dan mengambil ajaran yang paling mudah dengan berdalilkan
sebuah hadits: Ikhtilaf ummatku adalah rahmat. Hadits ini disebutkan
oleh Al-Hafidh Al-Muhaddits Sayyid Ahmad bin Al-Shiddiq Al-Ghimari
dalam kitabnya Al-Mughayyir Al-Ahadits Al-Maudhu’ah . Dia menyatakan
bahwa hadits ini maudhu’ (dibuat-buat). Juga hadits yang lain:
Sesungguhnya Allah menyukai untuk diterima rukhsah atau keringanan-Nya
sebagaimana Dia suka dipenuhi ketetapan (yang) wajib-Nya. Hadits ini
diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Ibnu Hibban, Al-Baihaqy dan lain-lainnya.
Jika diperhatikan secara seksama, tidak ada alasan untuk menggunakan
hadits-hadits itu sebagai dalil bolehnya mencari-cari keringanan atau
kekeliruan para ulama. Walaupun umpamanya hadits-hadits itu shohih,
kita tidak bisa mensamakan maksud rukhsah/samahat Allah swt. tentang
ber- tayammum bila tidak ada air atau ketika tidak boleh menggunakan
air karena akan menimbulkan bahaya. Juga tidak sama maksudnya dengan
bolehnya berbuka puasa dibulan Ramadhan bagi orang yang sakit atau
sedang bepergian, (dan tidak sama maksudnya dengan bolehnya atau
rukhsah/ samahat tentang qashar/penyingkatan sholat wajib bila dalam
perjalanan,– pen.) .
Hal-hal seperti itu berbeda dengan mencari-cari dan mengikuti segala
keringanan dan perkataan atau pendapat dari para ulama. Boleh jadi
para ulama itu benar pendapatnya dalam suatu masalah, tetapi salah
dalam masalah yang lain.
Sudah tentu kita harus menghargai pendapat para ulama yang dalam
ijtihadnya tidak mendahulukan kehendak hawa nafsunya dan tidak terlalu
fanatik buta, meskipun pendapat para ulama ini bertentangan dengan
pendapat kita. Secara lahiriah, para mujtahid yang telah memenuhi
syarat sebagai mujtahid sesungguhnya ingin mencari keridhaan Allah swt.
dan berkeinginan untuk mendapatkan yang hak atau benar, asalkan
pendapat- nya itu jauh dari hal-hal yang syadz atau aneh atau dengan
kata lain tidak bertentangan dengan ijma’ (kesepakatan) kebanyakan
ulama.
Sedangkan orang-orang yang melakukan ijtihad mengenai hal-hal yang
semestinya tidak perlu di-ijtihad, atau hal-hal yang bertentangan
dengan ijma’ ulama, tidak sejalan dengan nash Al-Qur’an dan As-Sunnah,
harus kita jauhi. Apalagi orang-orang yang ijtihad ini menganggap
dirinya seorang mujtahid yang jika ia salah tetap mendapat satu pahala
dan jika ia benar mendapat dua pahala, seraya mengaku atau menyamakan
dirinya sebagai kelompok ulama besar. Orang-orang ini kadang-kadang
memperlihatkan keberaniannya/ tanggung jawabnya dalam mengambil
kesimpulan hukum Islam. Mereka ini sering juga mengaku dirinya sebagai
seorang reformer (pembaharu) atau juga sebagai seorang innovator
(seorang ahli pikir), padahal sesungguhnya dia tidak mempunyai
kemampuan apa-apa.
Maka bila kita berhadapan dengan orang-orang semacam ini, tidak
perlu dipertimbangkan lagi dia sudah pasti berdosa karena telah sesat
bahkan menyesatkan orang lain. Segala perkataannya harus ditinggalkan
sejauh-jauhnya. Hanya milik Allah-lah segala urusan.
(Syeikh Hasan bin Ali As-Saqaf)
Senin, 10 Desember 2012
Tidak boleh mencari keringanan ajaran yang paling mudah dan ringan dari Ulama
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan
klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Blog Indahnya Berbagi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar